Penulis : Hendri Editia, Pimpinan Media beritaseruyan.com
MALIOBORO Siapa yang tidak kenal dengan yang namanya Malioboro, Malioboro merupakan salah satu jalan paling populer di Yogyakarta. Selain berada di jantung kota, Malioboro menjadi cukup dikenal dan menjadi magnet pemikat bagi para pelancong atau wisatawan baik itu dalam negeri hingga luar negeri.
Beberapa waktu lalu, penulis berkesempatan mengunjungi Yogyakarta, dimana salah satu lokasi yang dikunjungi yakni Malioboro, melihat secara seksama, tidak ada hal yang menonjol diwilayah tersebut, namun jangan salah, suasana Malioboro seolah menghipnotis para pendatang jika bersantai diwilayah tersebut, bahkan penulis dua sampai tiga kali mengunjungi tempat tersebut karena penasaran dengan suasana Malioboro.
Banyak daerah di Indonesia yang menyediakan alun-alun seperti Malioboro, namun tentu saja kharisma serta daya pikat Malioboro tidak terduakan, penasaran akan hal itu, penulis memutuskan mengunjungi Malioboro di pagi hari, melihat aktivitas masyarakat setempat berjualan dan sebagainya ternyata salah satu yang menyebabkan Malioboro menjadi daya tempat yang wajib dikunjungi ketika ke Yogyakarta menyimpan banyak sejarah dan juga budaya yang masih dipertahankan masyarakatnya, dari makanan khas seperti Gudeg, bakpia dan sebagainya menghiasi kota yang masih menganut sistem semi kerajaan tersebut.
Bukan kemewahan disajikan Malioboro namun kesederhanaan dibalut dengan adat budaya yang selalu dipertahankan membuat daya tarik tersendiri buat Malioboro. Sedikit berbagi cerita saat ini Malioboro menjadi rekomendasi penulis untuk tujuan tempat santai di malam hari mengapa demikian selain banyaknya makanan, para musisi yang beratraksi di wilayah itu juga tidak ada bising kendaraan baik itu roda dua dan empat, karena pemerintah setempat menata sedemikian rupa Malioboro dengan menetapkan tidak diperbolehkannya kendaraan melewati kawasan Malioboro dari pukul 18.00 WIB sampai dengan 21:00 WIB sehingga membuat kita terhipnotis menikmati makanan, antraksi para musisi yang beradu nasib di Malioboro.Â
Sekarang penulis ingin berandai-andai jika Malioboro di duplikat ke Seruyan apakah bisa, tentu sangat bisa, dimana ibu Kota Kuala Pembuang mempunyai banyak tempat yang strategis hanya saja tinggal kemauan pemangku kepentingan menganggap suasana Malioboro perlu tidaknya ada di Seruyan walaupun pada hakekatnya bahwasannya setiap masyarakat punya hak akan tempat-tempat publik seperti Malioboro.
Kembali ke Malioboro, Malioboro mempunyai daya tarik karena cerita sejarah yang menyertainya. Keberadaan Malioboro sering pula dikaitkan dengan tiga tempat sakral di Yogya yakni Gunung Merapi, Kraton dan Pantai Selatan. Dalam Bahasa Sansekerta, kata Malioboro bermakna karangan bunga. Kata Malioboro juga berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama Marlborough yang pernah tinggal disana pada tahun 1811 – 1816 M. Pendirian jalan malioboro bertepatan dengan pendirian Kraton Yogyakarta. Awalnya Jalan Malioboro ditata sebagai sumbu imaginer antara Pantai Selatan (Pantai Parangkusumo) – Kraton Yogya – Gunung Merapi. Malioboro mulai ramai pada era kolonial 1790 saat pemerintah Belanda membangun benteng Vredeburg pada tahun 1790 di ujung selatan jalan ini. Selain membangun benteng, Belanda juga membangun Dutch Club tahun 1822, The Dutch Governor’s Residence tahun 1830, Java Bank dan Kantor Pos tak lama setelahnya. Setelah itu Malioboro berkembang kian pesat karena perdagangan antara orang belanda dengan pedagang Tiong Hoa. Sekitar tahun 1887 Jalan Malioboro dibagi menjadi dua dengan didirikannya tempat pemberhentian kereta api yang kini bernama Stasiun Tugu Yogya. Jalan Malioboro juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di sisi selatan Jalan Malioboro pernah terjadi pertempuran sengit antara pejuang tanah air melawan pasukan kolonial Belanda yang ingin menduduki Yogya. Pertempuran itu kemudian dikenal dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yakni keberhasilan pasukan merah putih menduduki Yogya selama enam jam dan membuktikan kepada dunia bahwa angkatan perang Indonesia tetap ada. Malioboro terus berkembang hingga saat ini. Dengan tetap mempertahankan konsep aslinya dahulu, Malioboro jadi pusat kehidupan masyarakat Yogya. Tempat-tempat strategis seperti Kantor Gubernur DIY, Gedung DPRD DIY, Pasar Induk Beringharjo hingga Istana Presiden Gedung Agung juga berada di kawasan ini. Pemerintah setempat kini terus melakukan perbaikan untuk menata Malioboro menjadi kawasan yang nyaman untuk disinggahi. Awal tahun 2016 ini pemerintah telah berhasil mensterilkan parkir kendaraan dari Malioboro dan tengah menata kawasan ini di sisi timur untuk pedestrian. Warung-warung lesehan hingga saat ini masih dipertahankan untuk mempertahankan ciri khas Malioboro.
Â
Akhir tulisan ini, penulis ingin mengajak pemangku kepentingan di Seruyan bahwasannya Seruyan punya potensi, punya sejarah, punya budaya, punya kemampuan, sehingga tidak ada salahnya pemerintah berjuluk Bumi Gawi Hatantiring ini membawa suasana Malioboro ke Seruyan untuk menjadi tujuan masyarakat jika berkunjung ke Ibu Kota Kuala Pembuang. (*)Â