Dulu ketika saya masih kecil, ada seorang anak dari kampung sebelah yang sering dating menggunakan sepeda kesayangannya sambal membawa kipas tangan kecil. Wajahnya sedikit berbeda dengan saya dan teman-teman. Matanya bulat dengan bulu mata tipis, hidungnya pesek, dan mulutnya terkadang mengeluarkan air liur, selain itu bicaranya juga tidak lancar. Saya dan teman-teman biasanya akan lari berhamburan ketika melihatnya dating dari kejauhan. Kami semua menganggapnya sebagai ANAK IDIOT dan gila. Dan tentu saja, tidak ada satupun anak kampung kami yang mau bermain dengannya.
Selain anak tadi, persis hanya berjarak satu rumah dari rumah orangtua saya dulu. Ada satu keluarga yang memiliki anak perempuan. Saya tidak pernah melihat wajahnya dengan jelas, setiap kali ia keluar rumah, ayah dan ibunya akan segera menyuruhnya masuk. Tidak ada satupun juga dari anak-anak kampung yang berani mendekatinya. Jangankan mendekat, tidak sengaja menatap matanya saja kami akan lari ketakutan. Anak perempuan itu juga sama, orang-orang kampung kami memanggilnya IDIOT dan gila.
Hal tersebut terjadi disaat masih akhir 1990an hingga awal tahun 2000an. Disaat perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan belum semaju dan secanggih sekarang. Hal tersebut tentunya tidak bisa dibendung. Tidak ada satupun orang dari kampung saya yang bisa menjelaskan kondisi apa yang dialami oleh anak yang senang bersepeda dan anak perempuan tadi. Tidak ada satupun yang tau. Mereka hanya bisa mengaitkannya dengan mitos-mitos yang dulu sangat dipercaya oleh masyarakat.
Setelah saya dewasa dan belajar. Akhirnya saya mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Kondisi apa yang mereka alami. Dan bagaimana seharusnya mereka diperlakukan dengan baik sebagai anak dan sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Namun sayangnya, sekarang disaat teknologi dan ilmu pengetahuan sudah bisa diakses dengan mudah oleh berbagai kalangan. Ternyata masih begitu banyak stigma negatif beredar dimasyarakat tentang anak berkebutuhan khusus. Tentang perilaku mereka yang dianggap tidak biasa, dan begitu juga dengan ciri-ciri fisiknya. Namun dari sekian banyak stigma negatif yang sering saya dengar, “ANAK IDIOT” adalah salah satu yang paling mengusik bagi saya. Diantara begitu banyak perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang mudah diakses, orang-orang justru merasa lebih mudah dengan memanggil mereka “IDIOT”.
Hal yang paling saya sayangkan justru kata tersebut seringkali keluar dari mulut orang yang berpendidikan. Mereka bisa saja dengan mudah memberikan label IDIOT tanpa memikirkan dampak psikologis dari orang disekitar anak yang mendengar, terlebih lagi dengan orangtua dari anak tersebut.
Lalu, apa seharusnya panggilan yang tepat?
Ada banyak panggilan baik yang bisa digunakan. Contohnya seperti “ANAK SPESIAL” atau “ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS” atau bisa juga dengan “ANAK-ANAK SURGA”. Panggilan tersebut tentunya terasa lebih baik jika harus dibandingkan dengan “ANAK IDIOT”. Namun alangkah lebih baik lagi, jika kita tidak harus memberikan label pada mereka. Panggil saja dengan nama mereka, nama yang diberikan orangtua mereka dengan penuh doa dan harapan.
Penulis : Iskandar Wiradinata, S.Pd
Tanggal : 24 Februari 2022