Penulis : Suci Khairida Putri
8 Januari 2021
Pernahkah kalian melihat pelangi?
Bisakah kalian mendeskripsikan bagaimana warnanya, betapa indah bentuknya, dan seberapa menyilaukan cahayanya?
Bisakah kalian merasakah keindahannya tanpa harus melihat?
Bisakah kalian mendeskripsikan warna, bentuk, dan cahayanya tanpa melihat lebih dulu?
Sebagaimana kalian merasakan tetesan air hujan yang jatuh dengan menutup mata. Setetes-demi setetes, dengan menengadahkan telapak tangan. Kalian bisa merasakan apakah itu hanya gerimis atau hujan yang deras. Kalian tidak bisa melakukan hal yang sama untuk merasakan pelangi.
Suatu kali, saya pernah merasakan sebuah genggaman hangat dari seorang anak kecil yang lebih sering menunduk dan menyendiri. Kulit tangannya kering, tak jauh berbeda, jari-jari dan kulit disekitar kukunya banyak yang mengelupas. Genggamannya erat seakan tak ingin terlepas. Kita sebut saja namanya Bunga.
“Kakak di sini saja ya, temani Bunga” katanya.
Wajahnya masih menunduk, tangannya yang sedari awal menggaruk-garuk hingga kulitnya kering dan mengelupas perlahan menggenggam tangan saya erat.
Saya kemudian menyadari beberapa hal yang dulu bahkan tidak pernah terpikirkan. Bagaimana berartinya sentuhan dan kehadiran kita bagi seseorang. Bagi kita pada umumnya, merasakan kehadiran seseorang dengan melihat, baik jauh ataupun dekat, kehadiran mereka bisa kita rasakan dengan melihat. Seperti ibu di rumah yang sedang menonton tv, ayah yang sedang duduk di teras, sedangkan kita sedang membuat mie goring di dapur. Kehadiran mereka bisa kita ketahui dari melihat.
Sedangkan hal tersebut tidak sama dengan yang dirasakan anak-anak tunanetra. Meraka tidak mengetahui kehadiran kita dengan melihat, sehingga salah satu cara mereka bisa merasakannya adalah melalui sentuhan.
Seperti halnya bunga, dia merasa khawatir jika genggaman tanganya dengan saya terlepas. Karna dia akan kembali merasa sendirian, tanpa ada kehadiran orang lain disekitar.